Sabtu, 20 Juni 2009

MEREK

B. MEREK
1. Pengertian Merek
Menurut American Marketing Association, definisi merek adalah nama, istilah, simbol atau rancangan atau kombinasi dari hal-hal tersebut. Tujuan dari merek adalah untuk mengidentifikasi produk atau jasa yang dihasilkan sehingga berbeda dari produk atau jasa yang dihasilkan oleh pesaing. (Fredy Rangkuti, 2004 : 2)
Dalam Undang-Undang tentang Merek tahun 1992 pasal 1 ayat 1, merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan arang atau jasa. (Kansil, 1997 : 150)
Menurut Tim Lindsey dkk (2006;131) merek adalah sesuatu (gambar atau nama) yang dapat digunakan untuk mengidentifikasikan suatu produk atau perusahaan di pasaran
2. Perkembangan suatu merek
Menurut Goodyear (1996), unuk memahami proses perkembangan suatu merek diperlukan 6 tahap perkembangan yaitu : (Fredy Rangkuti, 2004 : 17)
a. Produk yang tidak memiliki merek (Unbranded Goods)
Pada tahap ini, produk dikelola sebagai komoditi sehingga merek hampir tidak diperlukan. Kondisi ini sangat mendukung apabila permintaan (demand) lebih banyak dibandingkan dengan dengan pasokan (supply) yang biasanya sering terjadi dalam situasi perekonomian yang bersifat monopolistic.
Contoh : beras murah, BBM, obat generik dll.
b. Merek yang dipakai sebagai referensi (Brand as Reference)
Pada tahap ini sudah terjadi persaingan sedikit-sedikit, meskipun tingkatnya belu begitu ketat. Persainngan ini merangsang produsen unuk membuat diferensiasi produk yang dihasilkan. Tujuannya adalah agar produk yang ia hasilkan memiliki perbedaan dari produk perusahaan lain.
Contoh : sepatu olahraga, sepatu ke kantor, buku tulis, buku gambar dll.
c. Merek sebagai personaliti
Pada tahap ini, diferensiasi antar merek berdasarkan atribut fungsi menjadi semakin sulit menjadi semakin sulit dilakukan. Karena hampir sebagian perusahaan melakukan kegiatan yang sama. Untuk membedakan produk yang dihasilkan dari produk pesaing, perusahaan melakukan tambahan nilai-nilai personality pada masing-masing merek.
Contoh : sabun mandi kesehatan, sabun mandi untuk bayi dll.
d. Merek sebagai simbol (icon)
Pada tahap ini, Merek menjadi milik pelanggan. Pelanggan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam mengenai merk yang ia gunakan. Pada umumnya merk yang masuk pada tahap ini sudah bersifat internasional dan pelanggan yang menggunakan merk ini dapat mengekspresikan dirinya atau dapat menunjukkan jati dirinya. Contohnya, rokok Marlboro.
e. Merek sebagai sebuah perusahaan
Iklan pada tahap ini memiliki identitas yang sangat kompleks dan lebih bersifat interaktif, sehingga pelanggan dapat dengan mudah menghubungi merk. Karena merk perusahaan tersebut merupakan wakil perusahaan sehingga merk = perusahaan, semua direksi dan karyawan memiliki persepsi yang sama tentang merek yang dimilikinya. Komunikasi yang keluar dari perusahaan telah terintegrasi ke semua lini kegiatan operasional,sehingga informasi mengalir secara lancer baik dari manajemen ke pelanggan maupun sebaliknya, dari pelanggan ke manajemen. Contohnya, Microsoft Software dimana pelanggan dapat berkomunikasi secara langsung setiap saat melalui internet dengan perusahaan, begitu juga sebaliknya perusahaan dapat menginformasikan produknya kepada pelanggan kapan saja.
f. Merek sebagai kebijakan moral
Saat ini hanya ada beberapa perusahaan yang telah berada pada tahap ini, yaitu perusahaan yang telah berada pada tahap ini, yaitu perusahaan yang telah mengoperasikan kegiatannya secara transparan baik mulai dari bahan baku yang digunakan, proses produksi dan operasionalnya sampai produk maupun jasa dan pelayanan purna jualnya kepada pelanggan. Informasi disampaikan secara transparan, jelasdan tidak ada yang ditutup-tutupi secara etika bisnis, social maupun politisnya. Contohnya adalah iklan Body Shop dan Benetton





Tahap-tahap dalam proses perkembangan merek dapat dijelaskan sebagai berikut:
Tahapan perkembangan Waktu Jenis
Tahap 6 : Merek sebagai kebijakan moral
Tahap 5 : Merek sebagai sebuah perusahaan
Tahap 4 : Merek sebagai simbol (icon)
Tahap 3 : Merek sebagai personaliti
Tahap 2 : Merek yang dipakai sebagai referensi
Tahap 1 : Tanpa merek Waktu = 0
Terminal simbolik
instrumental


3. Strategi Merk (Brand Strategy)
Berikut adalah diagram Brand Strategy (Kottler, 1997;443) dalam (Fredy Rangkuti, 2004 : 37):



Line Extension
Brand Extension
Multi Brand
New Brand

Berikut adalah penjelasan mengenai strategi merek :
a. Merek baru (new brand)
Sebuah perusahaan dapat menciptakan sebuah nama merek baru ketika memasuki sebuah kategori produk baru. Strategi ini dapat dilakukan karena tidak ada nama merek yang sesuai.
b. Multi merek (multi brand)
Perusahaan ingin mengelola berbagai nama merek dalam kategori yang ada untuk mengemukakan fungsi dan manfaat yang berbeda.
c. Perluasan merek (brand extension)
Usaha apapunyang dilakukan utuk menggunakan sebuah nama merek yang sudah berhasil untuk meluncurkan produk baru atau produk yang dimodifikasi dalam kategori baru.
d. Perluasan lini (line extension)
Strategi ini dapat dilakukan dengan cara perusahaan memperkenalkan berbagai macam feature atau tambahan variasi produk, dalam sebuh kategori produk yang ada di bawah nama merek yang sama, seperti rasa, bentuk, warna, atau ukuran kemasan baru.
4. Ekuitas Merek (Brand Equity)
Menurut David A (1996:8), “Brand Equity is a set of assets (and lialibilties) linked to a brand’s name and symbol that adds to (or subtracts from)the value provided by a product or service to a firm’s customers. The major asset categories are: Brand awareness, perceived quality, brand association and bran loyalty.

Unsur-unsur Brand Equity adalah sebagai berikut:

DESKRIPSI DAN ANALISIS STRUKTUR LAPORAN KEUANGAN

PENDAHULUAN

Analisis laporan keuangan adalah hubungan antar suatu angka dalam laporan keuangan dengan angka lain yang mempunyai makna atau dapat menjelaskan arah perubahan suatu fenomena (Soemarso,1999:430). Angka-angka dalam laporan keuangan akan sedikit artinya jika dilihat secara terpisah. Dengan analisis, pemakai laporan keuangan akan lebih mudah mengintepretasikanya.
Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh kementerian/lembaga negara bersangkutan. Data keuangan dalam laporan keuangan akan lebih berarti apabila dianalisis lebih lanjut sehingga dapat diperoleh informasi yang akan dapat mendukung keputusan yang akan diambil. Dengan demikian, analisis laporan keuangan merupakan analisis yang dilakukan terhadap berbagai macam informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Analisis laporan keuangan banyak digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap masalah-masalah keuangan pemerintah.
Dalam melakukan analisis, setiap pengguna laporan harus mengidentifikasi informasi yang harus dipilih untuk dianalisis, teknik analisis yang tepat, ruang lingkup, kedalaman analisis dengan menggunakan pertimbangan yang cermat agar dapat memperoleh informasi yang diinginkan untuk mendukung keputusan-keputusan yang diambilnya.






RUMUSAN PERMASLAHAN :
1. Bagaimanakah konsep struktur laporan keuangan ?
2. Bagaimanakah bentuk laporan keuangan horizontal ?
3. Bagaimanakah bentuk lapoarn keuangan vertikal ?
4. Bagaimanakah konsep struktur modal ?
5. Bagaimanakah konsep struktur finansial ?
6. Apakah ada hubungan antara struktur modal dengan struktur finansial ?



















BAB II
PEMBAHASAN

A. Struktur Laporan Keuangan
1. PENGERTIAN ANALISIS LAPORAN KEUANGAN
Analisis laporan keuangan ( Financial statement Analysis ) adalah hubungan antara suatu angka dalam laporan keuangan dengan angka lain yang mempunyai makna atau dapat menjelaskan arah perubahan suatu fenomena (Soemarso,1999:430). Angka-angka dalam laporan keuangan akan sedikit artinya bila dilihat secara sendiri-sendiri. Pemakai laporan keuangan akan lebih mudah menginterpretasikanya bila dilakukan analisis.
Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh perusahaan. Data keuangan dalam laporan keuangan akan lebih berarti apabila dianalisis lebih lanjut sehingga dapat diperoleh informasi yang akan dapat mendukung keputusan yang akan diambil. Analisis laporan keuangan merupakan analisis yang dilakukan terhadap berbagai macam informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Analisis laporan keuangan banyak digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap masalah-masalah keuangan. Setiap pengguna laporan harus mengidentifikasi informasi yang harus dipilih untuk dianalisis, teknik analisis yang tepat, ruang lingkup, kedalaman analisis dengan menggunakan pertimbangan yang cermat agar dapat memperoleh informasi yang diinginkan untuk mendukung keputusan-keputusan yang diambilnya.



2. KOMPONEN LAPORAN KEUANGAN
Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan biasanya terdiri:
1. Neraca: laporan yang sistematis tentang aktiva, hutang, modal dari suatu perusahaan pada suatu saat tertentu menunjukkan posisi keuangan (aktiva, utang dan modal) pada saat tertentu. Tujuan neraca adalah menunjukkan posisi keuangan suatu perusahaan pada suatu tanggal tertentu, biasanya pada waktu di mana buku-buku ditutup dan ditentukan sisanya pada suatu akhir tahun fiskal atau tahun kalender (misalnya pada tanggal 31 Desember 200x).
2. Laporan laba rugi: suatu laporan yang menunjukkan pendapatan dari penjualan, berbagai biaya, dan laba yang diperoleh oleh perusahaan selama periode tertentu.
3. Laporan saldo laba: menunjukkan perubahan laba ditahan selama periode tertentu.
4. Laporan arus kas: Menujukkan arus kas selama periode tertentu.
5. Catatan atas laporan keuangan: berisi rincian neraca dan laporan laba rugi, kebijakan akuntansi, dan lain sebagainya.
Sedangkan komponen laporan keuangan Pemerintah setidak-tidaknya terdiri dari:
1. Laporan Realisasi Anggaran
2. Laporan Arus Kas
3. Neraca
4. Catatan atas laporan keuangan
Laporan Realisasi Anggaran sering juga disebut laporan operasional merupakan laporan yang menyajikan informasi mengenai sumber, alokasi, dan penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola pemerintah yang menggambarkan perbandingan antara anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan dengan realisasinya dalam satu periode pelaporan.
Laporan Arus Kas merupakan laporan yang menyajikan informasi mengenai sumber, penggunaaan, perubahan kas dan setara kas selama satu periode akuntansi dan saldo kas dan setara kas pada tanggal pelaporan. Arus masuk dan keluar kas diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset nonkeuangan, pembiayaan, dan nonanggaran. Neraca merupakan laporan yang menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu.
Setiap komponen laporan keuangan hendaknya tidak dianalisis secara parsial. Komponen-komponen laporan tersebut merupakan satu kesatuan yang harus dianalisis secara bersama-sama. Terdapat hubungan antara pos yang satu dengan pos yang lainnya dalam laporan keuangan sehingga untuk memperoleh gambaran informasi yang utuh, pos-pos terkait dianalisis secara terintegrasi.
Laporan keuangan merupakan hasil rekaman transaksi keuangan dari peristiwa masa lalu. Laporan keuangan berarti menyajikan data hisitoris pemerintah yang bersangkutan. Berbagai pihak yang berkepentingan pada umumnya tidakhanya membutuhkan informasi masa lalu tetapi mereka menggunakannya untuk mencaritahu apa yang akan terjadi di masa yang akan datang. Oleh karena itu teknik dan tingkat kedalaman analisis disesuaikan dengan kebutuhan

3. PENGGUNA LAPORAN KEUANGAN
Pihak-pihak yang menggunakan informasi keuangan dari laporan keuangan terdiri dari pihak intern dan pihak ekstern. Secara keseluruhan pengguna laporan keuangan terdiri dari:
1. Pihak manajemen: untuk mengevaluasi kinerja perusahaan, kompensasi pengembangan karier.
2. Pemegang saham: untuk mengetahui kinerja perusahaan, pendapatan, keamanan investasi.
3. Karyawan: Penghasilan yang memadai, kualitas hidup, keamanan kerja
4. Kreditor dan investor: untuk mengetahui kemampuan perusahaan melunasi utang beserta bunganya.
5. Pemerintah: pajak, persetujuan untuk go public.
Setiap pemakai bisa mempunyai kepentingan yang berlainan. Oleh karena itu, mereka harus memahami informasi yang disajikan dalam laporan dan menganalisis dengan teknik yang tepat sehingga dapat memenuhi kebutuhannya Masyarakat pada umumnya ingin mengetahui panggunaan sumber daya ekonomi yang dipungut dari masyarakat selama tahun berjalan berikut kinerja atau hasil-hasil yang dicapainya.
Investor/kreditor pada umumnya berkepentingan untuk melihat apakah perusahaan mampu mengembalikan pinjaman/investasi berikut kemampuan untuk membayar beban bunganya secara tepat waktu. Manajemen perusahaan berkepentingan terhadap informasi keuangan untuk perencanaan, pengorganisasian dan pengendalian kegiatan operasional pemerintahan. Hal ini sangat penting bagi pemerintah agar dapat mengalokasikan dan menggunakan anggaran yang tersedia untuk mencapai output/outcome secara efisien dan efektif.

4. ANALISIS LAPORAN KEUANGAN
Laporan Keuangan memuat informasi yang relevan mengenai posisi keuangan dan seluruh transaksi yang dilakukan oleh suatu entitas pelaporan selama satu periode pelaporan. Laporan keuangan terutama digunakan untuk membandingkan realisasi pendapatan,belanja, transfer, dan pembiayaan dengan anggaran yang ditetapkan, menilai kondisi keuangan, mengevaluasi efektifitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan, dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundangan.
Kewajiban untuk menyampaikan laporan keuangan diperlukan mengingat setiap entitas pelaporan menggunakan sumber dana/anggaran yang berasal dari investor dan perlu dipertanggungjawabkan capaian kegiatannya. Oleh karenanya laporan keuangan yang disusun oleh suatu entitas diperlukan untuk keperluan:
1. Akuntabilitas, yaitu untuk mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan kegiatan secara periodik.
2. Manajemen, yaitu membantu para pengguna mengevaluasi pelaksanaan kegiatan sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas seluruh aset, kewajiban dan ekuitas dana.
3. Transparansi, yaitu memberikan informasi keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat.
4. Keseimbangan antar generasi (intergenerational equity), membantu para pengguna untuk mengetahui kecukupan penerimaan pemerintah untuk membiayai seluruh pengeluaran yang dialokasikan.
Proses analisis laporan keuangan diperlukan dalam pencapaian keperluan tersebut sehingga didapatkan suatu penilaian yang obyektif dan terukur mengenai penggunaan anggaran dan kinerja yang berhasil dicapai oleh suatu entitas. Analisis juga diperlukan bagi perbaikan rencana penganggaran di masa yang akan datang, sebagaimana tergambar dalam diagram berikut ini.


5. TUJUAN PELAPORAN KEUANGAN
Tujuan utama laporan keuangan adalah menyediakan informasi keuangan mengenai suatu badan usaha kepada pihak-pihak berkepentingan. Informasi tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Akuntansi keuangan biasanya lebih menitikberatkan pada penyediaan informasi kepada pihak-pihak diluar perusahaan. Pihak-pihak ini tidak dapat secara bebas memperoleh informasi yang diperlukan dari badan usaha yang bersangkutan. Mereka terpaksa harus menggunakan informasi yang disediakan pihak manajemen perusahaan. Identifikasi pemakai laporan keuangan diperlukan untuk pengambil keputusan dominan, mengingat banyaknya pihak-pihak ekstern yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda.
Informasi keuangan yang dihasilkan akuntansi keuangan tidak terbatas pada laporan keuangan saja. Tetapi termasuk juga informasi-informasi lain, baik yang bersifat keuangan maupun tidak. Semua informasi yang dihasilkan suatu sistem akuntansi disebut informasi akuntansi. Walaupun diharapkan bermanfaat dalam pengambilan keputusan ekonomi, namun informasi keuangan bukan satu-satunya informasi yang diperlukan. Pengambilan keputusan ekonomi dipengaruhi banyak faktor, misalnya keadaan ekonomi, politik dan prospek industri.
Secara khusus Prinsip Akuntansi Indonesia menyebutkan tujuan laporan keuangan berikut ini:
1. Memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai aktiva, kewajiban dan modal suatu perusahaan.
2. Memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai perubahan aktiva netto (aktiva dikurangi kewajiban) suatu perusahaan yang timbul dari kegiatan usaha dalam rangka memperoleh laba.
3. Memberikan informasi keuangan yang memebantu para pemakai laporan keuangan dalam menaksir potensi perusahaan menghasilkan laba.
4. Memberikan informasi penting lainya mengenai perubahan aktiva dan kewajiban sutu perusahaan seperti informasi mengenai aktivitas pembiayaan dan investasi.
5. Untuk mengungkapakan sejauh mungkin informasi lain yang berhubungan dengan laporan keuangan yang relevan untuk kebutuhan pemakai laporan keuangan, seperti informasi mengenai kebijakan akuntansi yang dianut perusahaan.





6. KARAKTERISTIK KUALITATIF LAPORAN KEUANGAN
Karakteristik kualitatif laporan keuangan adalah ukuran-ukuran normatif yang perlu diwujudkan dalam informasi akuntansi sehingga dapat memenuhi tujuannya, yang meliputi:
a) Relevan, yaitu informasi yang termuat di dalamnya dapat mempengaruhi keputusan pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa kini, dan memprediksi masa depan, serta menegaskan atau mengoreksi hasil evaluasi mereka di masa lalu. Informasi yang relevan haruslahmemenuhi unsure-unsur memiliki manfaat umpan balik (feedback value),memiliki manfaat prediktif (predictive value), tepat waktu dan lengkap.
b) Andal, yaitu informasi dalam laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material, menyajikan setiap fakta secara jujur, serta dapat diverifikasi. Informasi yang andal haruslah memiliki karakteristik penyajian jujur, dapat diverifikasi (verifiability), dan netral.
c) Dapat dibandingkan, yang berarti informasi yang termuat dalam laporan keuangan dapat dibandingkan dengan laporan keuangan periode sebelumnya.
d) Dapat dipahami, yang berarti laporan keuangan disajikan dalam bentuk serta istilah yang disesuaikan dengan batas pemahaman para pengguna.

7. PRINSIP AKUNTANSI DAN PELAPORAN KEUANGAN
Prinsip akuntansi merupakan pedoman umum yang digunakan dalam praktek akuntansi. Prinsip akuntansi dikembangkan atas dasar logika pemikiran dalam kerangka teori.
Penyusunan laporan keuangan harus mengikuti prinsip-prinsip akuntansi dan pelaporan keuangan agar dapat ditaati dan dipahami para pembuat standar akuntansi pemerintahan, penyelenggara akuntansi dan pelaporan keuangan, dan para pengguna laporannya.
Prinsip-prinsip tersebut terdiri atas:
a. Realisasi, yang berarti pendapatan yang tersedia yang telah diotorisasikan melalui anggaran pemerintah selama satu tahun fiskal akan digunakan untuk membayar hutang dan belanja dalam periode tersebut.
b. Substansi mengungguli bentuk (substance over form), yang berarti transaksi atau peristiwa lain yang ditampilkan dalam laporan keuangan dicatat dan disajikan sesuai dengan substansi dan realitas ekonomi, dan bukan hanya aspek formalitasnya.
c. Periodisitas (periodicity), yang berarti kegiatan akuntansi dan pelaporan keuangan dibagi dalam periode-periode pelaporan sehingga kinerja entitas dapat diukur dan posisi sumber daya yang dimilikinya dapat ditentukan.
d. Konsistensi (consistency), yaitu perlakuan akuntansi yang sama diterapkan pada kejadian yang serupa dari period ke periode oleh entitas pelaporan.
e. Pengungkapan lengkap (full disclosure), yaitu menyajikan secara lengkap informasi yang dibutuhkan oleh pengguna.
f. Penyajian wajar (fair presentation).

8. SIFAT DAN KETERBATASAN LAPORAN KEUANGAN
Harus diakui bahwa informasi yang disajikan dalam laporan keuangan pastilah memiliki kekurangan. Kekurangan tersebut dikarenakan adanya keterbatasan dalam menyajikan informasi keuangan yang relevan dan andal. Kendala laporan keuangan dapat diartikan sebagai keadaan yang tidak memungkinkan terwujudnya kondisi yang ideal dalam mewujudkan informasi akuntansi dan laporan keuangan yang relevan dan andal. Secara umum setiap laporan keuangan memiliki sifat dan keterbatasan, yaitu:
1. Laporan keuangan bersifat historis, yaitu merupakan laporan atas kejadian yang telah lewat.
2. Laporan keuangan bersifat umum dan bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pihak tertentu.
3. Proses penyusunan laporan tidak lepas dari penggunaan taksiran dan pertimbangan.
4. Adanya berbagai alternatif metode akuntansi yang digunakan menimbulkan variasi dalam pengukuran.
9. TEKNIK STRUKTUR LAPORAN KEUANGAN
Teknik analisis laporan keuangan terdiri dari:
1. Struktur Laporan keuangan Horizontal
2. Struktur Laporan keuangan Vertikal

Kesimpulan
Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh kementerian/lembaga negara bersangkutan. Data keuangan dalam laporan keuangan akan lebih berarti apabila dianalisis lebih lanjut sehingga dapat diperoleh informasi yang akan dapat mendukung keputusan yang akan diambil. Dengan demikian, analisis laporan keuangan merupakan analisis yang dilakukan terhadap berbagai macam informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Analisis laporan keuangan banyak digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap masalah-masalah keuangan pemerintah.

Erna Wulandari ( 3351405086)



B. Struktur Laporan Keuangan Horisontal
Struktur analisis horisontal (horizontal analysis) pada umumnya menunjukkan arah perubahan (trend) dari suatu pos laporan keuangan tertentu (Soemarso, 1999: 432). Analisis ini merupakan prosentase yang membandingkan suatu pos laporan keuangan dengan pos sama laporan keuangan sebelumnya. Analisis dengan cara membandingkan neraca atau laporan realisasi anggaran beberapa tahun terakhir secara berurutan. Analisis ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam neraca maupun laba rugi, apakah mengalami kenaikan atau penurunan. Apabila metode ini dilakukan untuk suatu jangka waktu yang cukup panjang dan menitikberatkan pada arah perkembangannya, maka analisis seperti ini disebut analisis tren.
Teknik analisis laporan keuangan yang dilakukan dengan cara menyajikan laporan keuangan secara horisontal dan membandingkan antara satu dengan yang lain, dengan menunjukkan informasi keuangan atau data lainnya baik dalam rupiah atau dalam unit, ini disebut juga analisis perbandingan (Harahap, 2004:227).
Tujuan analisis perbandingan menurut Harahap (2004: 228), adalah untuk mengetahui perubahan-perubahan berupa kenaikan atau penurunan pos-pos laporan keuangan atau data lainnya dalam dua atau lebih periode yang dibandingkan. Perbandingan dapat juga dilakukan antara laporan yang sudah dikonversikan ke angka indeks atau laporan bentuk common size bentuk awam.
Menurut Prastowo (2000: 48), menyebutkan bahwa analisis tren merupakan salah satu teknik analisis laporan keuangan yang termasuk metode analisis horizontal. Analisis tren dilakukan untuk melihat struktur keuangan baik dari daftar Neraca dan Laba Rugi. Untuk melihat struktur laporan keuangan ini maka laporan keuangan dikonversikan ke bentuk persentase dengan mengaitkan dengan pos penting. Pos penting itu misalnya Penjualan untuk Laba Rugi dan pos Total Aktiva untuk Neraca.
Sesuai dengan uraian tersebut, maka objek Analisis Tren adalah:
1. Laba Rugi bentuk Tren
Struktur Laba Rugi dapat menunjukkan persentase pos tertentu dari pos utama. Misalnya persentase laba bersih dari penjualan, persentase laba kotor atas penjualan, biaya operasi, dan sebagainya. Dengan melihat persentase ini kita dapat mengetahui struktur Laba Rugi perusahaan dan juga bisa dibandingkan dengan struktur perusahaan lain yang sejenis atau rasio rata-rata industri.
2. Neraca bentuk Tren
Struktur Neraca dapat melihat persentase pos tertentu dengan pos tertentu dengan pos utama lainnya, misalnya persentase aktiva lancar dengan total aktiva, aktiva tetap, aktiva lain, utang lancar, utang jangka panjang, modal, dan sebagainya.
Sebagai contoh cara perbandingan dengan analisis horizontal adalah sebagai berikut:
Penjualan pada tahun 2005 : Rp. 310.000,00
Penjualan pada tahun 2006 : Rp. 330.000,00
Maka perbandingan perubahan penjualan adalah 6,45

Kesimpulan
Analisis ini dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam neraca maupun laba rugi, apakah mengalami kenaikan atau penurunan. Apabila metode ini dilakukan untuk suatu jangka waktu yang cukup panjang dan menitikberatkan pada arah perkembangannya
Dewi Marina Purbasari (3351405001)

C. ANALISIS LAPORAN KEUANGAN VERTIKAL
Analisis vertikal (vertical analysis) terkonsentrasi pada hubungan-hubungan diantara berbagai pos keuangan pada laporan keuangan tertentu. Untuk memperlihatkan hubungan ini, setiap pos laporan keuangan dinyatakan sebagai suatu persentase dari suatu pos dasar yang juga terdapat pada laporan tersebut. Laporan persentase-persentase yang dihasilkan disebut laporan ukuran bersama (common-size statement) (Henry Simamora, 1999). Sedangkan menurut John J Wild (2005), analisis vertikal merupakan suatu prosedur pembandingan antara satu pos terhadap pos lainnya dalam laporan keuangan dengan cara mengevaluasi pos dari atas ke bawah (atau bawah ke atas) dalam laporan common-size.
Laporan-laporan ukuran bersama (common-size statement) kerap dipakai untuk membuat perbandingan-perbandingan diantara perusahaan-perusahaan. Laporan-laporan ini memungkinkan analisis membandingkan karakteristik-karakteristik operasi dan pendanaan dari kedua perusahaan dari ukuran yang berbeda dari industri yang sama.
Menurut John J. Wild et. Al. (2005), analisis laporan keuangan common-size statement berguna dalam memahami pembentuk internal laporan keuangan. Sebagai contoh, dalam analisis neraca, analisis common-size menekankan pada dua faktor:
1. Sumber pendanaan- termasuk distribusi pendanaan antara kewajiban lancar, kewajiban tak lancar, dan ekuitas.
2. Komposisi aktiva-termasuk jumlah untuk masing-masing aktiva lancar dan aktiva tak lancar.
Analisis vertikal berfaedah untuk membandingkan arti penting komponen-komponen spesifik dalam kegiatan sebuah perusahaan. Analisis ini dapat pula digunakan dalam laporan-laporan ukuran bersama komparatif dalam rangka mengidentifikasi perubahan-perubahan penting dalam komponen-komponen dari satu tahun ke tahun berikutnya.

Analisis vertikal ada 2, yaitu:
1. Analisis Vertikal Laporan Laba Rugi
Analisis vertikal laporan laba rugi memeriksa hubungan-hubungan dari setiap pos dengan laba bersih. Pada umumnya, laba bersih dijadikan 100 persen. Analisis ini mengungkapkan apakah pos pendapatan atau beban tertentu menyimpang dalam hubungannya dengan laba bersih. Analisis ini juga memberikan petunjuk perihal potensi kekuatan dan kelemahan perusahaan dalam mengendalikan biaya-biaya dan mencapai sasaran profitabilitasnya.

Contoh analisis vertikal laporan laba rugi:

PT. EMBUN PAGI
Analisis Vertikal Laporan Laba Rugi
31 Desember 2002 dan 2001
2002 2001
Penjualan Bersih Rp 4,347,776.00 100% Rp3,953,668.00 100%
Biaya Pokok Penjualan Rp 3,146,092.00 72.40% Rp2,801,052.00 70.80%
Laba Kotor Rp 1,201,684.00 27.60% Rp1,152,616.00 29.20%

Beban-beban:
Beban Penjualan dan Administratif Rp 760,360.00 17.50% Rp 690,644.00 17.50%
Beban Bunga Rp 59,980.00 1.40% Rp 52,184.00 1.30%
Jumlah Beban Rp 820,340.00 18.90% Rp 742,828.00 18.80%

Laba Sebelum Pajak Rp 381,344.00 8.80% Rp 409,788.00 10.40%
Pajak Pengahsilan (30%) Rp 114,403.00 2.60% Rp 122,936.00 3.10%
Laba Bersih Operasi Rp 266,941.00 6.20% Rp 286,852.00 7.30%
Untung (rugi) luar biasa Rp - 0.00% Rp 49,600.00 1.20%
Laba Bersih Operasi Rp 266,941.00 6.20% Rp 336,452.00 8.50%

Analisis vertikal itu mengungkapkan bahwa biaya pokok penjualan PT. Embun Pagi pada tahun 2002 lebih tinggi ketimbang pada tahun 2001 (72.4% berbanding 70.8%). Gabungan kenaikan ini dan tidak adanya keuntngan luar biasa pada tahun 2002 mengakibatkan penurunan signifikan laba bersih dari 8.5% dari penjualan bersih pad atahun 2001 menjadi 6.2% pada tahun 2002.

2. Analisis Vertikal Neraca
Analisis vertikal neraca menghubungkan setiap pos neraca dengan jumlah aktiva, atau dengan jumlah kewajiban dan ekuitas pemilik, dimana setiapnya dinyatakan sebagai suatu persentase dari kategori yang lebih besar. Sebagai umpama, pos Kas akan dinyatakan sebagai suatu persentase dari jumlah Aktiva, dan pos Utang Dagang sebagai suatu persentase dari jumlah kewajiban dan ekuitas pemilik.





Contoh analisis vertikal neraca:

PT. EMBUN PAGI
Analisis Vertikal Neraca
31 Desember 2002 dan 2001
Aktiva 2002 2001
Aktiva Lancar:
Kas Rp 67,928.00 2.10% Rp 36,080.00 1.10%
Surat Berharga Rp 150,732.00 4.60% Rp 158,848.00 5.00%
Piutang Dagang Rp 510,176.00 15.50% Rp 486,456.00 15.40%
Persediaan Rp 782,048.00 23.80% Rp 695,996.00 22.10%
Aktiva Lancar lain-lain Rp 37,996.00 1.20% Rp 30,536.00 1.00%
Jumlah Aktiva Lancar Rp1,548,880.00 47.10% Rp1,407,916.00 44.70%
Aktiva Tetap Rp1,626,396.00 49.40% Rp1,407,916.00 50.10%
Aktiva Tetap lain-lain Rp 114,284.00 3.50% Rp 163,204.00 5.20%
Jumlah Aktiva Rp3,289,560.00 100% Rp3,151,512.00 100%

Kewajiban dan Ekuitas Pemilik
Kewajiban Lancar:
Kredit Bank Rp 98,632.00 3.00% Rp 90,304.00 2.90%
Bagian Lancar dari utang
jangka panjang Rp 7,676.00 0.20% Rp 13,280.00 0.40%
Utang Dagang dan Utang Wesel Rp 315,868.00 9.60% Rp 277,900.00 8.80%
Utang Pajak Penghasilan Rp 60,360.00 1.80% Rp 58,624.00 1.90%
Jumlah Kewajiban Lancar Rp 482,536.00 14.70% Rp 440,108.00 14.00%
Utang Jangka Panjang Rp 623,524.00 19.00% Rp 593,600.00 18.80%
Utang Obligasi Rp 125,444.00 3.80% Rp 116,840.00 3.70%
Ekuitas Pemegang saham Rp2,058,056.00 62.60% Rp2,000,964.00 63.50%
Jumlah kewajiban dan ekuitas
pemegang saham Rp3,289,560.00 100% Rp3,151,512.00 100%

Seperti terlihat pada gambar tersebut, hanya terdapat kenaikan kecil dalam persentase aktiva lancar dikaitkan dengan jumlah aktiva, seiring dengan adanya penurunan kecil dalam aktiva tetap bersih dan aktiva tetap lain-lain. Dengan demikian, analisis vertikal ini mengungkapkan bahwa tidak ada perubahan signifikan aktiva perusahaan selama dua tahun tersebut.

Kesimpulan
Prosedur pembandingan antara satu pos terhadap pos lainnya dalam laporan keuangan disebut analisis vertikal karena merupakan evaluasi pos dari atas ke bawah (atau bawah ke atas) dalam laporan common-size. Analisis vertikal dapat menunjukkan proporsi suatu pos terhadap angka dasar tertentu dalam laporan keuangan yang sama. Analisis ini dapat pula digunakan dalam laporan-laporan ukuran bersama komparatif dalam rangka mengidentifikasi perubahan-perubahan penting dalam komponen-komponen dari satu tahun ke tahun berikutnya. Hasil analisis vertikal dapat digunakan untuk menilai efisiensi usaha perusahaan.

Eva Z Saragih (3351405038)


D. STRUKTUR MODAL

1. Konsep Struktur Modal
Modal merupakan unsur yang sangat penting bagi perusahaan. Salah satu masalah dalam permodalan adalah bagaimana menetapkan struktur modal yang optimal bagi perusahaan, karena struktur modal merupakan perimbangan antara modal asing dan modal sendiri. Efektivitas struktur modal akan menentukan efisiensi atau tidaknya penggunaan dana dapat diukur dengan melihat tingkat earning per share yang telah dicapai perusahaan. Pengertian modal menurut Munawir (2004) adalah merupakan hak atau bagian yang dimiliki oleh pemilik perusahaan yang ditunjukkan dalam pos modal (modal saham), surplus dan laba yang ditahan. Atau kelebihan nilai aktiva yang dimiliki oleh perusahaan terhadap seluruh hutang-hutangnya.
Struktur modal adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka panjang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal sendiri. Pemenuhan kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal saham, laba ditahan, dan cadangan. Jika dalam pendanaan perusahaan yang berasal dari modal sendiri masih memiliki kekurangan (deficit) maka perlu dipertimbangkan pendanaan perusahaan yang berasa dari luar, yaitu dari hutang (debt financing). Namun dalam pemenuhan kebutuhan dana, perusahaan harus mencari alternative-alternatif pendanaan yang efisien. Pendanaan yang efisien akan terjadi bila perusahaan mempunyai struktur modal yang optimal. Struktur modal yang optimal dapat diartikan sebagai struktur modal yang dapat meminimalkan biaya penggunaan modal keseluruhan atau biaya modal rata-rata, sehingga memaksimalkan nilai perusahaan.

2. Teori Struktur Modal
Kecenderungan perusahaan yang makin banyak menggunakan hutang, tanpa disadari secara berangsur-angsur, akan menimbulkan kewajiban yang makin berat bagi perusahaan saat harus melunasi (membayar kembali) hutang tersebut. Tidak jarang perusahaan-perusahaan yang akhirnya tidak mampu memenuhi kewajiban tersebut, dan bahkan dinyatakan pailit. Hingga kini belum ada rumus matematik yang tepat untuk menentukan jumlah optimal dari hutang dan ekuitas dalam struktur modal (Seitz,1984: 301).
Teori struktur modal diasumsikan bahwa perubahan struktur modal berasal dari penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham biasa atau penerbitan saham baru. Selanjutnya perlu dikaji bagaimana pengaruh perubahan struktur modal tersebut terhadap nilai perusahaan dan apakah ada pengaruh struktur modal terhadap harga saham perusahaan sebagai pencerminan nilai perusahaan. Apabila ada pengaruh struktur modal terhadap nilai perusahaan, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana struktur modal yang optimal bagi perusahaan.
Asumsi-asumsi yang mendasari adalah (Megginson, 1997:316):
a. Semua aktiva berujud dimiliki oleh perusahaan.
b. Pasar modal sempurna (tidak ada pajak, tidak ada biaya transaksi, dan tidak ada biaya kebangkrutan).
c. Perusahaan hanya dapat menerbitkan dua macam sekuritas, yakni ekuitas yang berisiko dan hutang bebas (tanpa) risiko.
d. Individu maupun perusahaan dapat meminjam atau meminjamkan uang dengan tingkat suku bunga bebas risiko.
e. Para investor mempunyai ekspektasi yang sama (homogen) terhadap keuntungan perusahaan di masa mendatang.
f. Semua perusahaan tidak mengalami pertumbuhan (arus kas diasumsikan konstan dan perpetual, dan semua laba dibagikan dalam bentuk dividen).
g. Semua perusahaan dapat dikelompokkan dalam satu kelompok kembalian, dan kembalian saham dari semua perusahaan dalam kelompok tersebut adalah proporsional.
Pendekatan dalam Teori Struktur Modal :
1. Pendekatan Tradisional (Traditional Approach)
Pendekatan tradisional berpendapat akan adanya struktur modal yang optimal. Jadi, struktur modal mempunyai pengaruh terhadap nilai perusahaan. Struktur modal bisa dirubah-rubah agar bisa diperoleh nilai perusahaan yang optimal. Pendekatan ini diasumsikan terjadi perubahan struktur modal dan peningkatan nilai total perusahaan melalui penggunaan financial leverage (hutang dibagi modal sendiri).

2. Pendekatan Modigliani dan Miller (MM Approach)
Tahun 1950-an, dua orang ekonom menentang pandangan tradisional struktur modal. Mereka berpendapat bahwa struktur modal tidak mempengaruhi nilai perusahaan. Kemudian pada awal tahun 1960-an, kedua ekonom tersebut memasukkan faktor pajak ke dalam analisis mereka. Mereka sampai pada kesimpulan bahwa nilai perusahaan dengan hutang lebih tinggi dibandingkan nilai perusahaan tanpa hutang. Kenaikan nilai tersebut dikarenakan adanya penghematan pajak dari penggunaan hutang.
MM berpendapat bahwa risiko total bagi seluruh pemegang saham tidak berubah walaupun struktur modal perusahaan mengalami perubahan. Hal ini didasarkan pada pendapat bahwa pembagian struktur modal antara hutang dan modal sendiri selalu terdapat perlindungan atas nilai investasi. Yaitu karena nilai investasi total perusahaan tergantung dari keuntungan dan risiko, sehingga nilai perusahaan tidak berubah walaupun struktur modalnya berubah. Asumsi yang digunakan adalah, pasar modal sempurna, nilai yang diharapkan dari distribusi probabilitas semua investor sama, perusahaan mempunyai risiko usaha (business risk) yang sama dan tidak ada pajak. Pendapat MM didukung oleh adanya proses arbitrase, yaitu proses mendapatkan dua aktiva yang pada dasarnya sama dan membelinya dengan harga yang termurah serta menjual lagi dengan harga yang lebih tinggi.
3. Teori Trade-Off
Kenyataan di lapangan membuktikan ada hal-hal yang membuat perusahaan tidak bisa menggunakan hutang sebanyak-banyaknya. Satu hal yang terpenting adalah dengan semakin tingginya hutang, akan semakin tinggi kemungkinan (probabilitas) kebangkrutan. Biaya kebangkrutan tersebut bisa cukup signifikan. Penelitian di luar negeri menunjukkan biaya kebangkrutan bisa mencapai sekitar 20% dari nilai perusahaan.

Biaya tersebut mencakup dua hal:
1. Biaya langsung: biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya administrasi, biaya pengacara, biaya akuntan, danbiaya lainnya yang sejenis.
2. Biaya tidak langsung : biaya yang terjadi karena dalam kondisi kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan dengan perusahaan secara normal.
Misal, supplier barangkali tidak akan mau memasok barang karena mengkhawatirkan kemungkinan tidak terbayar. Biaya lain dari peningkatan hutang adalah meningkatnya biaya keagenan hutang (agency cost of debt). Jika hutang meningkat, maka konflik antara pemegang hutang dengan pemegang saham akan meningkat, karena potensi kerugian yang dialami oleh pemegang hutang akan meningkat. Dalam situasi tersebut, pemegang hutang akan semakin meningkatkan pengawasan (monitoring) terhadap perusahaan. Pengawasan bisa dilakukan dalam bentuk biaya-biaya monitoring (persyaratan yang lebih ketat, menambah jumlah akuntan, dsb) dan bisa juga dalam bentuk kenaikan tingkat bunga.
4. Model Miller dengan Pajak Perusahaan dan Personal
Modigliani dan Miller mengembangkan model struktur modal tanpa pajak, dan dengan pajak. Nilai perusahaan dengan pajak lebih tinggi dibandingkan dengan nilai perusahaan tanpa pajak. Selisih tersebut diperoleh melalui penghematan pajak karena bunga bisa dipakai untuk mengurangi pajak. Penghematan pajak tersebut bisa dihitung sebagai berikut ini :

Penghematan pajak = VL - VU = tc . B

Keterangan :
VL : Nilai untuk perusahaan yang menggunakan hutang (value for
leveraged companies)
VU :Nilai untuk perusahaan yang tidak menggunakan hutang (100% saham, atau value for unlevered companies)
tc : tingkat pajak (perusahaan)
B : besarnya hutang
Miller sendiri kemudian mengembangkan model struktur modal dengan memasukkan pajak personal. Pemegang saham dan pemegang hutang harus membayar pajak jika mereka menerima dividen (untuk pemegang saham) atau bunga (untuk pemegang hutang).
5. Pecking Order Theory
Teori trade-off mempunyai implikasi bahwa manajer akan berfikir dalam kerangka trade-off antara pengehamatan pajak dan biaya kebangkrutan dalam penentuan struktur modal. Kenyataannya, nampaknya jarang manajer keuangan yang berfikir demikian. Seorang akademisi, Donald Donaldson (1961) melakukan pengamatan terhadap perilaku struktur modal perusahaan di Amerika Serikat. Pengamatannya menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai keuntungan yang tinggi ternyata cenderung menggunakan hutang yang lebih rendah. Secara spesifik, perusahaan mempunyai urut-urutan preferensi dalam penggunaan dana.
Skenario urutan dalam Pecking Order Theory adalah sebagai berikut ini :
1. Perusahaan memilih pendanaan internal. Dana internal tersebut diperoleh dari laba (keuntungan) yang dihasilkan dari kegiatan perusahaan.
2. Perusahaan menghitung target rasio pembayaran didasarkan pada perkiraan kesempatan investasi.
3. Karena kebijakan dividen yang konstan (sticky), digabung dengan fluktuasi keuntungan dan kesempatan investasi yang tidak bisa diprediksi, akan menyebabkan aliran kas yang diterima oleh perusahaan akan lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran investasi pada saat-saat tertentu, dan akan lebih kecil pada saat yang lain.
4. Jika pendanaan eksternal diperlukan, perusahaan akan mengeluarkan surat berharga yang paling aman terlebih dulu. Perusahaan akan memulai dengan hutang, kemudian dengan surat berharga campuran (hybrid) seperti obligasi konvertibel, dan kemudian barangkali saham sebagai pilihan terakhir.
Teori tersebut tidak mengindikasikan target struktur modal. Teori tersebut menjelaskan urut-urutan pendanaan. Manajer keuangan tidak memperhitungkan tingkat hutang yang optimal. Kebutuhan dana ditentukan oleh kebutuhan investasi. Teori pecking order bisa menjelaskan kenapa perusahaan yang mempunyai tingkat keuntunganyang tinggi justru mempunyai tingkat hutang yang lebih kecil.
6. Teori Asimetri Informasi dan Signaling
Konsep signaling dan asimetri informasi berkaitan erat. Teori asimetri mengatakan bahwa pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan tidak mempunyai informasi yang sama mengenai prospek dan risiko perusahaan. Pihak tertentu mempunyai informasi yang lebih baik dibandingkan pihak lainnya.
6.1. Myers dan Majluf (1977)
Menurut Myers danMajluf (1977), ada asimetri informasi antara manajer denganpihak luar: manajermempunyai informasi yang lebih lengkap mengenai kondisi perusahaan dibandingkan dengan pihak luar.
6.2. Signaling (Ross, 1977)
Ross (1977) mengembangkanmodel dimana struktur modal (penggunaan hutang) merupakan signal yang disampaikan oleh manajer ke pasar. Jika manajer mempunyai keyakinan bahwa prospek perusahaan baik,dan karenanya ingin agar harga saham meningkat, ia ingin mengkomunikasikan hal tersebut ke investor. Manajer bisa menggunakan hutang lebih banyak, sebagai signal yang lebih credible. Karena perusahaan yang meningkatkan hutang bisa dipandang sebagai perusahaan yang yakin dengan prospek perusahaan di masa mendatang. Investor diharapkan akan menangkap signal tersebut, signal bahwa perusahaanmempunyai prospek yang baik. Dengan demikian hutang merupakan tanda atau signal positif.
7. Teori Lainnya
7.1. Pendekatan Teori Keagenan (agency approach)
Menurut pendekatan ini, strukturmodal disusun untukmengurangi konflik antar berbagai kelompok kepentingan. Konflik antara pemegang saham dengan manajer adalah konsep free-cash flow (Jensen, 1985). Free-cash flow dalam konteks ini didefinisikan sebagai aliran kas yang tersisa sesudah semua usulan investasi dengan NPV positif didanai. Tetapi ada kecenderungan manajer ingin menahan sumber daya (termasuk free-cash flow) sehingga mempunyai kontrol atas sumber daya tersebut. Hutang bisa dianggap sebagai cara untuk mengurangi konflik keagenan freecash flow. Jika perusahaan menggunakan hutang, maka manajer akan dipaksa untuk mengeluarkan kas dari perusahaan (untuk membayar bunga).
7.2. Pendekatan Interaksi Produk/Input dengan Pasar
Model ini berangkat dari teori organisasi industri, dan relatif baru dibandingkan teori lainnya. Ada dua kategori dalam pendekatan ini:
(1) Menjelaskan hubungan antara struktur modal perusahaan dengan strategi, dan
(2) Menjelaskan hubungan antara struktur modal dengan karakteristik produk atau input.
7.3. Kontes atas Pengendalian Perusahaan
Beberapa penemuan pendekatan ini adalah perusahaan yang menjadi target (dalam pengambil alihan) akan meningkatkan tingkat hutangnya, dan mengakibatkan kenaikan harga saham. Tingkat hutang berhubungan negatif dengan kemungkinan sukses tender offer (penawaran terbuka pada proses pengambil alihan usaha).

Kesimpulan
Struktur modal adalah perbandingan atau imbangan pendanaan jangka panjang perusahaan yang ditunjukkan oleh perbandingan hutang jangka panjang terhadap modal sendiri. Pemenuhan kebutuhan dana perusahaan dari sumber modal sendiri berasal dari modal saham, laba ditahan, dan cadangan. Teori struktur modal diasumsikan bahwa perubahan struktur modal berasal dari penerbitan obligasi dan pembelian kembali saham biasa atau penerbitan saham baru. Struktur modal sendiri adalah pembelanjaan permanen, di mana mencerminkan perimbangan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri. Apabila struktur finansial tercermin pada keseluruhan pasiva dalam neraca, maka struktur modal hanya tercermin pada utang jangka panjang dan unsur-usur modal itu sendiri, di mana kedua golongan tersebut mempunyai dana permanen atau dana jangka panjang. Jadi, struktur modal hanya merupakan sebagian saja dari struktur finansial. Struktur modal keseluruhan terdiri dari modal asing dan modal sendiri.

Istiari Widya W (3351405036)

E. Struktur Finansial
Struktur finansial mencerminkan cara bagaimana aktiva-aktiva perusahaan dibelanjai, dengan demikian struktur finansial tercermin pada keseluruhan pasiva dalam neraca. Struktur finansial mencerminkan pula perimbangan baik dalam artian absolut maupun relatif antara keseluruhan modal asing (baik jangka pendek maupun jangka panjang) dengan jumlah modal sendiri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi struktur finansial adalah sebagai berikut:
1. Tingkat pertumbuhan penjualan. Tingkat pertumbuhan penjualan masa depan dapat ditentukan oleh leverage.
2. Stabilitas arus kas. Stabilitas arus kas dan rasio rasio hutang saling berkaitan. Bila stabilitas penjualan dan laba lebih besar, beban hutang mempunyai risiko lebih kecil, dan sebaliknya bila stabilitas penjualan dan laba lebih kecil beban hutang mempunyai risiko lebih besar.
3. Karakteristik industri. Kemampuan membayar hutang tergantung pada profitabilitas dan volume penjualan. Industri yang berkembang menjanjikan marjinal yang tinggi, tetapi marjinal laba tersebut cenderung menurun apabila industri tersebut kalah bersaing dengan masuknya industri baru.
4. Struktur aktiva. Struktur aktiva dapat mempengaruhi struktur finansial dengan cara perusahaan yang mempunyai struktur aktiva tetap jangka panjang akan banyak menggunakan hipotek jangka panjang.
Berbicara mengenai struktur finansial tentunya tidak akan lepas dari struktur kekayaan. Struktur kekayaan adalah perimbangan atau perbandingan baik dalam artian absolut maupun dalam artian relatif antara aktiva lancar dengan aktiva tetap. Kita mengenal adanya pedoman atau aturan struktur finansial yang konservatif, baik yang vertikal maupun yang horizontal. Aturan struktur finansial yang vertikal memberikan batas imbangan yang harus dipertahankan oleh suatu perusahaan mengenai besarnya modal asing dengan modal sendiri. Aturan ini menganggap bahwa pembelanjaan yang sehat itu itu pertama kali harus dibiayai dengan modal sendiri. Maka aturan struktur finansial konservatif menetapkan bahwa besarnya modal asing dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh lebih dari 1:1. Setiap perluasan basis modal sendiri akan memperbesar kemampuan perusahaan dalam menanggung risiko usaha perusahaan yang akan dibelanjainya. Pandangan ini didasarkan pada “prinsip keamanan”, dimana hal ini akan memberikan pengaruh yang baik terhadap kreditur maupun perusahaan itu sendiri.
Adapun aturan struktur finansial konservatif yang horizontal memberikan batas imbangan atara besarnya modal sendiri di satu pihak dengan besarnya aktiva tetap plus persediaan besi (persediaan minimum) di lain pihak. Aturan tersebut menyatakan bahwa keseluruhan aktiva tetap dan persediaan besi harus sepenuhnya ditutup atau dibelanjai dengan modal sendiri, yaitu modal tetap yang tertanam di dalam perusahaan. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa besarnya modal sendiri tidak boleh kurang atau lebih kecil dari pada jumlah aktiva tetap plus persediaan besi, atau dengan kata lain besarnya modal sendiri sama dengan aktiva tetap plus persediaan besi. Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar
KEADAAN NORMAL DALAM PERIMBANGAN ANTARA JUMLAH AKTIVA TETAP (PLUS PERSEDIAAN BESI) DENGAN JUMLAH MODAL SENDIRI

Aktiva Lancar Modal Asing
Aktiva Tetap
+
Persediaan Besi
Modal sendiri



Apabila jumlah modal sendiri lebih kecil dari aktiva tetap plus persediaan besi, berarti aktiva tetap tersebut “kurang tertutup” oleh modal sendiri sehingga besarnya modal sendiri tidak cukup untuk menjamin atau menutup aktiva tetap tersebut.
Aktiva tetap dan persediaan besi adalah merupakan asset yang akan tetap terikat di dalam perusahaan untuk jangka waktu yang lama sehingga untuk membelanjai asset tersebut juga diperlukan modal yang akan tetap tertanam dalam perusahaan, yaitu dalam bentuk modal sendiri. Modal sendiri bila lebih kecil dari pada aktiva tetap plus persediaan besi, berarti sebagian dari aktiva tersebut dibelanjai dengan modal asing. Jangka waktu modal asing tersebut bila lebih pendek daripada jangka waktu terikatnya dana dalam aktiva tetap , hal ini akan mengganggu likuiditas perusahaan yang bersangkutan.



Kesimpulan
Struktur finansial mencerminkan cara bagaimana aktiva-aktiva perusahaan dibelanjai, dengan demikian struktur finansial tercermin pada keseluruhan pasiva dalam neraca. Dalam hubungannya dengan struktur finansial dan struktur kekayaan, kita mengenal adanya pedoman atau aturan struktur finansial yang konservatif, baik yang vertikal maupun yang horizontal.

Taufiq Hidayat (3351405063)





BAB III
KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
 Laporan keuangan merupakan alat yang sangat penting untuk memperoleh informasi sehubungan dengan posisi keuangan dan hasil-hasil yang telah dicapai oleh kementerian/lembaga negara bersangkutan. Data keuangan dalam laporan keuangan akan lebih berarti apabila dianalisis lebih lanjut sehingga dapat diperoleh informasi yang akan dapat mendukung keputusan yang akan diambil. Dengan demikian, analisis laporan keuangan merupakan analisis yang dilakukan terhadap berbagai macam informasi yang disajikan dalam laporan keuangan. Analisis laporan keuangan banyak digunakan oleh berbagai pihak yang berkepentingan terhadap masalah-masalah keuangan pemerintah.
 Sedangkan analisis keuangan horizontal dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam neraca maupun laba rugi, apakah mengalami kenaikan atau penurunan. Apabila metode ini dilakukan untuk suatu jangka waktu yang cukup panjang dan menitikberatkan pada arah perkembangannya.
 Prosedur pembandingan antara satu pos terhadap pos lainnya dalam laporan keuangan disebut analisis vertikal karena merupakan evaluasi pos dari atas ke bawah (atau bawah ke atas) dalam laporan common-size. Analisis vertikal dapat menunjukkan proporsi suatu pos terhadap angka dasar tertentu dalam laporan keuangan yang sama. Analisis ini dapat pula digunakan dalam laporan-laporan ukuran bersama komparatif dalam rangka mengidentifikasi perubahan-perubahan penting dalam komponen-komponen dari satu tahun ke tahun.
 Struktur modal sendiri adalah pembelanjaan permanen dimana mencerminkan perimbangan antara utang jangka panjang dengan modal sendiri. Apabila struktur finansial tercermin pada keseluruhan pasiva dalam neraca, maka struktur modal hanya tercermin pada utang jangka panjang dan unsur-unsur modal itu sendiri, dimana kedua golongan tersebut merupakan dana permanen atau dana jangka panjang. Dengan demikian struktur modal hanya merupakan sebagian saja dari struktur finansial. Struktur modal keseluruhan terdiri dari modal asing dan modal sendiri.
 Struktur finansial mencerminkan cara bagaimana aktiva-aktiva perusahaan dibelanjai, dengan demikian struktur finansial tercermin pada keseluruhan pasiva dalam neraca. Kita mengenal adanya pedoman atau aturan struktur finansial yang konservatif, baik yang vertikal maupun yang horizontal.

Disusun oleh :
1. Dewi Marina P (3351405001)
2. Istiari Widya (3351405036)
3. Eva Z Saragih (3351405038)
4. Taufiq Hidayat (3351405063)
5. Erna Wulandari (3351405086















DAFTAR PUSTAKA

Riyanto, Bambang. 1995. Dasar Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Gitosudarmo, Indriyo. 1999 Manajemen Keuangan. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Setia, Atmaja. 1999. Manajemen Keuangan. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.

Brigham, F. Eugene & Houston, F. Joel. 1999. Manajemen Keuangan. Jakarta: ERLANGGA Jakarta.

BUDGETARY PARTICIPATION, MOTIVATION AND MANAGERIAL PERFORMANCE

Working paper alfred p. Sloan school of management



BUDGETARY PARTICIPATION, MOTIVATION
AND
MANAGERIAL PERFORMANCE



by



WP 1389-83



Peter Brownell

and

J. Morris Mclnnes



January 1983



MASSACHUSETTS

INSTITUTE OF TECHNOLOGY

50 MEMORIAL DRIVE

CAMBRIDGE, MASSACHUSETTS 02139



Budgetary Participation, Motivation And Managerial Performance

by

Peter Brownell
and
J. Morris Mclnnes
WP 1389-83 January 1983



Abstract

The paper proposes an "indirect-effects" model linking participation in
budget-setting with managerial performance. Motivation was selected as an
intervening variable to explore the proposed model in a field study
setting. A significant positive association between participation and
performance was observed. However, the indirect path linking participation
and performance through motivation was found to explain only a small amount
of the relationship. In the study, motivation was measured using an
expectancy model. Further analysis revealed that greater participation in
budget-setting was positively associated with the extrinsic components of
motivation, but negatively with the intrinsic components. Contrary to
wide-held beliefs, the results seemed to suggest that participation
reinforces the contractual nature of the budget at the expense of the
personal satisfactions derived from goal-directed behavior and
goal-accomplishment. The managerial implications of the "indirect-effects"
model, and of the findings of the study, are discussed in the final section
of the paper.



Budgetary Participation, Motivation And Managerial Performance


Early theorists (e.g., Argyris, 1952; Becker and Green, 1962) tended to
the view that participation in the budget-setting process was a major means
available to organizations to gain the commitment of managers to budgets,
with consequent improvement in performance. Hopwood (1976) summarized this
earlier sentiment when he suggested that participation was viewed by many as
"...a panacea: a cure for all the many ills which have been associated with
traditional Dudgetary systems" (p. 74). Nonetheless, even in the
non-empirical realm in which much of this debate was conducted disagreement
was evident. The reply to Becker and Green by Stedry (1964), together with
Becker and Green's (19o4) rejoinder, illustrates the controversial nature of
the debate.

As subsequent empirical evidence accumulated, it became clear that these
earlier disagreements were well founded, l^ile evidence emerged of positive
relationships between participation and criteria such as job satisfaction
(Cherrington and Cherrington, 1973), attitude towards job (Milani, 1975),
motivation (Hofstede, 1967; Searfoss and Monczka, 1973), and attitude
towards the budget system (Collins, 1973; Kenis, 1979), no consistent
relationship with performance was found.

A possible explanation for the lack of an observed association between
participation and performance revolves around the role of moderating
variables, that is, variables which interact with participation jointly to
affect performance. This view gained formal recognition in the literature
with the emergence of the contingency framework for control system design
(see, for example, Waterhouse and Tiessen, 1978; Otley, 1980). Specifically
with regard to participation, Brownell (1982a) has reviewed and synthesized
the literature within a framework which explicitly provides for interactive effects of participation with organizational, interpersonal, and individual
variables. Recent empirical work (Brownell 1981, 1982b) has produced
results consistent with this "moderated-ef f ects" framework.
A second possible explanation, and the one pursued in this paper,
emerges from literature in organizational behavior. In a review of
literature in the area of goal setting and routine task performance, Locke
and Schweiger (1979) could find no evidence of a systematic association
between participation and performance. Locke, et. al. (1981, p. 138) went
on to propose that to the extent it is found to be associated with
performance, participation may be influencing this through the joint
mechanisms of inducing higher goals and enhanced goal-commitment on the part
of workers. In other words, these authors imply an "indirect-effects" model
in which some other condition, aroused by participation, is positively
associated with performance.

The difference between the "moderated-ef f ects" and "indirect-effects"
frameworks is significant, and deserves brief elaboration. The "moderated-
effects" model posits the existence of variables which may interact with
participation to affect performance; but these variables are viewed as
neither directly affecting performance, nor being affected by
participation. To illustrate, Brownell (1981) found that the individual
variable, internal/external locus of control , interacted with
participation to affect performance. Internals were found to prefer, and
perform better, under conditions of high participation while externals
preferred, and performed better, under low participation conditions.
However, participation and locus of control were themselves unrelated, and
no effects of the latter on performance were found. By contrast, the
"indirect-effects" model posits the existence of variables which are
associated with participation and which, in turn, affect performance. In

-2-



this framework, it is possible that statistically significant associations
between participation and some intervening variable on the one hand, and
between the intervening variable and performance on the other, could combine
in such a way as to yield an insignificant association between participation
and performance.

In this study, motivation was chosen as an intervening variable in an

2
empirical investigation of the indirect-effects model. Apart from the

intuitive plausibility of motivation as an intervening variable, there is

ample justification in the literature for its choice. This is dealt with in

the next section of the paper.

Review of Previous Literature

Hofstede (1967), in his seminal study of budgeting, observed that, "Of
all variables studied, budget participation is the one with the strongest
effect on all measures of motivation" (pp. 181-182). Hofstede used four
measures of motivation, dealing with the perceived relevance of the budget
and the existence of favorable attitudes towards the budget on the part of
budgeted managers. Similar results were found by Searfoss and Monczka
(1973) who studied the effects on motivation of participation by general
foremen in the development of their budgets; motivation was measured through
the use of subordinates' ratings of the level of effort expended by the
foremen in goal-directing and evaluative activities based on the budget.

In both these studies the concept of motivation was operationalized in
terms' of acceptance of, and effort expended to achieve the budget. In this
study motivation is operationazlied by use of the expectancy model (see, for
example, Galbraith and Cummings [1967], House [1971], and Ronen and
Livingstone [1975]). The model, shown in Equation (1), is considerably more
general in its interpretation of motivation than the constructs used by
Hofstede and by Searfoss and Monczka. It posits that individuals will exert

-3-



Equation 1



Expectancy Model of Motivation:



n

M = IV, + P, (IV +1 P„. EV.)
b 1 a . , 2i 1
1=1

Where: M is motivation

Ivjj is the intrinsic valence associated with
goal-directed behavior

Px is the instrumentality, or probability, that
goal-directed behavior will result in goal accomplishment

IV^ is the intrinsic valence associated with goal accom-
plishment

P2i is the expectation, or probability, that goal accom-
plishment will result in the ith extrinsic outcome,
i = 1, ,n.

EVi is the valence of the ith extrinsic outcome,
i = 1, , n.



effort towards goal achievement to the extent that such effort is perceived
likely to be instrumental in achieving the goal, and additionally, to the
extent that positively valent (desirable) outcomes are perceived likely to
result from goal-directed behavior and from goal-achievement.

The intrinsic valences, or rewards, arise from within the individual -
essentially the personal satisfactions derived from goal-directed behavior and
goal-accomplishment. The extrinsic valences are proferred by some agent
external to the individual, such as the organization (e.g. additional pay,
promotion, etc.), peers, subordinates, or parties outside the organization.

Some possible effects of budgetary participation on the elements of the
expectancy model have been suggested by Ronen and Livingstone (1975). They
speculate, for example, that ego-involvement associated with pursuing a



-4-



self-set goal will enhance IV , and possibly also IV, . To the extent this
is true, however, attendant adverse conseqences for the EV's may arise,
following from attribution theory (see, for example, Staw, [1980] and
Kruglanski 11978]), which posits that extrinsic and intrinsic rewards are in
some state of psychological balance in respect to an individual's
self-perception. In other words, a strengthening of the attribution of effort
to the receipt of intrinsic rewards is a possible consequence of the removal
or reduction of extrinsic rewards, and vice versa.

A relationship of participation with P is also likely. Raia (1965) has
suggested that more difficult goals emerge from participative budgeting. This
might translate into reduced perceptions of P , but might increase IV^ due
to the enhanced internalized value of achieving more difficult goals (Locke
et. al., 1981, pp. 127 - 129).

How, or whether these opposing tendencies balance out in their effects on
LDotivation is unclear. Overall, however, an assessment of the possible
effects of participation suggests that there are more opportunities for
enhancing than for diminishing motivation. This judgment is consistent with
the empirical findings referred to earlier.

Turning to a consideration of the effects of motivation on performance,
this question is dealt with largely within the domain of organizational
behavior. Nevertheless, in the accounting literature some attention has
recently been given to the issue (Ferris, 1977; Rockness, 1977). Ferris,
using a relatively simple construction of motivation, found inconclusive
results regarding the association between motivation and performance. On the
other hand, Rockness, in an experimental study, and using a more complex
formulation of the expectancy model, found relatively strong support for a
positive relationship.

In the organizational behavior area, much of the research examining the

-5-



relationship between motivation and performance stems from the work of Porter
and Lawler (1968). They posit that motivation should contribute to an
explanation of performance and also, under specified conditions, to job
satisfaction. A great deal of subsequent research has been conducted and is
summarized in several review articles (Mitchell, 1974; Wahba and House, 1974;
Connolly, 1970). llitchell (1979) concludes that most of the research results
support a positive relationship between motivation and performance.

Method

Data for the study were collected by a survey questionnaire from 224
middle-level managers drawn from three separate companies - two in the
electronics industry and one in the steel industry. The managers held
positions in a variety of functions, including marketing, production,
research, and administration. One selection criterion was used, namely that
activities of the managers should be controlled, at least in part, via the use
of budgeting. Final sample selection was left to top management of each
company; thus the sample was not strictly random.

The questionnaire measured participation in budget-setting, motivation and
performance.

Budgetary Participation

The participation measures developed by Milani (1975) and by Hofstede
(1967) were both employed in this study. The Milani measure is a six item
Likert type scale, each item calling for a response from one to seven. The
scale is designed for an additive construction of the overall score, and a
previously performed factor analysis of the scale (Brownell, 1982b) provides
adequate confirmation of the single factor nature of the measure. The
Cronbach alpha reliability coefficient computed from its use in this study

-6-



was 0.76.

The Hofstede measure is an eight-point, single-choice scale, with full
verbal anchoring. It was used in this study simply to validate the Milani
measure, with which it correlated at 0.59 (p
Motivation

The questionnaire items were designed to elicit measures on each construct
of the model presented in Equation (1). In the following discussion, we first
address valences, and then instrumentalities/expectancies.

Valences: The approach to the measurement of the valences was adapted

from the procedure developed by Lawler and Suttle (1973) in such a way as to

distinguish between the three classes of valence (IV,, IV , and EV's).

b a

Seventeen outcomes were used, classified a priori as either intrinsic (eight
outcomes) or extrinsic (nine outcomes). The outcomes are listed in Appendix

A. For each outcome, respondents were twice asked to indicate on a scale from

3

one to nine (extremely desirable to extremely undesirable) the strength of

their preference for that outcome. First respondents were asked to value each
outcome as it might result from "working hard" (goal-directed behavior), and
then to value each outcome as it might arise from "meeting or beating budgeted
goals" (goal-accomplisl"UDent) . IV, was measured by averaging the eight
responses to the intrinsic items from the first set of responses. IV was
measured by averaging the responses to the same eight items, but from the
second set of responses. The use of the same eight intrinsic outcomes in the
measurement of IV, and IV pre-supposes that a given outcome may arise
from either goal-directed behavior or goal-accomplishment; and moreover, that
the value placed on it might vary depending on how it arises.

The valences associated with the nine extrinsic outcomes (EV's) were
assessed from the second set of responses (outcomes resulting from

-7-



feoal-accomplishment) •

Instrumentalities/Expectancies: Equation (1) requires the assessment of
nine specific instrumentalities associating goal-accomplishment with extrinsic
outcome (Pn's). These instrumentalities were assessed by asking respondents
to indicate on a scale from one (never) to seven (always), how often "meeting
or beating the budget" would result in each outcome. Three additional
questionnaire items elicited measures of P-, , the perceived probability that
goal-directed behavior would result in goal-accomplishment. For ease of
interpretation, the instrumentality responses were converted to probabilities
in the range of zero to one. The three assessments of P, were significantly
(p < 0.01) correlated, with a mean correlation of 0.35. A single measure of
P, was derived by averaging the three responses.

The final measure of motivation was then obtained by aggregating the
individual constructs following Equation (1).

Performance

A self-rating version of the performance measure developed by Mahoney
et.al. (1963, 1965) was used. The measure calls for ratings on a nine-point
scale for each of eight separate dimensions of performance , together with a
single overall rating. In developmental work, Mahoney et al. (1963 pp.
106-107) indicated that the eight separate dimensions were conceived of as
being independent, and that jointly, the dimensions should explain at least 55
per cent of the overall rating (the remainder being explained by job-specific
factors). Each of these claims was tested in the current study. To assess
dimensional independence, a rule of thumb suggested by Pindyck and Rubinfeld
(1976, p. 68) was used. Multi-collinearity among an independent variable set
is likely to be a concern if the sample correlation between two of the
independent variables (dimensions) is larger than the correlation of either or

-8-



both with the dependent variable (in this case, the overall rating). Of 28
possible comparisons, only three intercorrelations violated this criterion,
indicating that the eight dimensions are reasonably independent. To test the
second claim, the overall performance rating was regressed on the eight
sub-dimensions. The regression explained 78 percent of the variance in the
overall ratings, implying that only 22 per cent of the functions critical to
effective performance were job-specific in the current sample.

Approach to Anal ysis

Because of the hypothesized collinearity between participation and
motivation, ordinary multiple regression cannot be used in the analysis.
Instead, partial regression, in the spirit of path analysis, was used. The
major benefit of path analysis is that it allows a decomposition of the
relationship between two variables in a structural model into the direct
effects of one on the other, as well as the indirect effects of the first on
the second, via one or more intervening variables.

The basic form of the structural model hypothesized earlier is depicted
in Figure 1, where participation, the exogenous variable in the model, is
denoted as X, , motivation as X~, and performance as X^. The path
coefficients in the model are denoted p. ., and R, denotes the
unexplained portions of the endogenous variables, motivation and performance.



-9-




Figure 1: Structural Model



The equations to the structural model are as follows;



Xo =



^21 1 '^Zu u



(2)



X. =



p^^X + p^„X + p R
31 1 32 2 ^3v V



(3)



The solution for p„ , can be directly assessed by computing the
correlation ^-i^' A path coefficient between two variables will equal the
zero-order correlation between them in circumstances where a variable is
viewed to be dependent on a single cause and a residual. This is true for
X (motivation) which, in the model, is conceived of as being dependent
only on X, (participation).

The solutions to p^^ ^"^"^ Pin ^^^ ^^ obtained in several equivalent
ways. One possibility (Stokes, 1974) is by means of an instrumental
variable procedure. This involves multiplying equations by suitable



-10-



instruments, taking expected values, and solving. Suitable instruments are
variables contained in a particular equation which are uncorrelated with the
residual variable of that equation. In equation (3), for example, X and
X^ are suitable, but X-, is not.

A second approach, and the one used here, involves partial regression.
If, as above, it is assumed that the residuals are uncorrelated with the
explanatory variables in the equations in which they appear, and all
variables are expressed in standard form, then the p. .'s can be estimated
by ordinary least squares procedures; they are in fact equal to the
standardized partial regression coefficients. Equations (2) and (3) can be
rewritten as follows:

^2 = e2iX^ + P2, R, (4)

^3= ^31.2^1^^32. 1^2 +P3v^ ^^^

The residual path coefficients can be calculated using the general form:

p. = / (1 - r^)
le e

2
where r is the square of the appropriate multiple correlation

coefficient. In the present context, we have:

P2u = ^ ^^ - ^12^ (^)

P3v - •/ ^1 - ^3.12) <7)

Finally, the decomposition of the total effect of one variable in the

model on another is obtained using the computed path coefficients and
zero-order correlations:

^12 = P2I ^8)

rj_3 = P31 + P32ri2 (9)

r23 = P32 + P3;l^12 ^l^^

-11-



The second components on the right hand side of equations (9) and (10)
capture the indirect effects, while the first components, the path
coefficients themselves, capture the direct effects.



Results

Of 224 questionnaires distributed, 140 were returned, a response rate of
02.5%. Of the 140 returned questionnaires 32 were excluded because of
improper or incomplete responses. The final sample size was therefore 108.

The zero order correlations among the three variables, participation,
motivation, and performance, are shown in Table 1. The probabilities
reported in Table 1 are based on a two-tailed test, as are all the other
results presented in the paper.



INSERT TABLE 1 HERE



The set of path coefficients of equation (3) were computed following
the procedure outlined in the previous section. The approach involves
regressing X on X and X in a multiple regression in which all
variables are standardized. The coefficient on X is p^, , and on X„
is P32* The results of the regression are presented in Table 2. Both
path coefficients, and the overall regression itself, are positive and
significant.



INSERT TABLE 2 HERE



-12-



The path coefficients for the errors in Figure 1 are derived by the

application of the formulae in Equations (6) and (7) to the results obtained:

p., = 0.990
2u

P3^ = U.984

Finally, the decomposition of total effects within the model presented
in Figure 1 is performed following Equations (9) and (10), and the
decomposition is summarized in Table 3.

INSERT TABLE 3 HERE

The results indicate that of the total effects of participation on
performance, the effect through motivation accounts for only a small
proportion, the majority appearing to be direct. The lack of explanatory
power of motivation as a mediator of the effects of participation was, of
course, first hinted at in Table 1, where the zero-order correlation between
the two was found to be insignificant. It is, nonetheless, premature to
conclude that the bulk of the effects of participation on performance are
necessarily direct. Other variables, operating like motivation but
unmeasured in this study, could account for some or all of what in the study
has been accounted for as an apparent direct effect.
Further Analysis and Interpretation

In the aggregate analysis, participation and motivation are not
significantly associated with one another. To examine this finding further,
the associations between participation and the components of the expectancy
model were explored. The results of the analysis are shown in Table 4.



-13-



INSERT TABLE 4 HERE



In the first column the simple correlation coefficients between
participation and the nine extrinsic valences are shown. Four of the nine
are negative and five are positive. There is no a priori reason to suppose
that extrinsic valences should be influenced by the degree of participation,
and this is borne out. However, the P„'s display an interesting pattern
in relation to participation; the coefficients are shown in the second
column. While only five of the nine coefficients are positive, three are
significant, namely, the probability of pay raise, high pay and promotion.
The third column shows the correlation coefficients between participation
and the products of the ^ j' s and the extrinsic valences. It seems as if
participation, largely through its effect on the P^'s, enhances the
contribution of the extrinsic rewards to motivation - particularly those
rewards within the official power of the organization to bestow.

An interpretation of this is that participation serves to legitimize the
budget as a basis for performance evaluation and contingent administration
of organizational rewards. Such a conclusion is consistent with previous
findings (Brownell, 1982b), to the effect that a "budget-constrained" style
of evaluation was appropriate in circumstances of high participation in
budget-setting; conversely, managers were found to respond poorly to
participation when the budget was not used as a salient basis for evaluation.

Column's 4 and 5 show the correlation coefficients between participation

and the intrinsic valences, the eight IV 's and the eight IV, 's. For

a D

both of these groups, six of eight of the coefficients are negative (p <

-14-



0.11, using a binomial test); overall, 12 of 16 correlations between
participation and intrinsic valences are negative (p < 0.03). Contrary to
the belief that participation is likely to enhance goal-commitment by
increasing the level of ego-involvement associated with the pursuit of
self-set goals, these results suggest that it appears to be acting in the
opposite manner. Indeed, from an intrinsic perspective, participation
appears to be associated with significant devaluation of the task and
reduction of the satisfaction derived from goal-accomplishment. In line
with the previous suggestions (Staw [1980] and Kruglanski [1978]),
strengthening of the instrumentality between goal-accomplishment and
extrinsic rewards appears to diminish, in some degree, the intrinsic
valences.

The correlations between participation and the three measures of P,
(the probability that goal-directed effort will lead to goal accomplishment)
were all found to be positive. Participation correlates with the overall
measure of P-, at 0.18 (p < 0.08). Two explanations of this would be
plausible. First, perhaps participation acts to strengthen goal commitment,
effort, and therefore the perceived probability of goal-achievement. There
is considerable evidence from the organization! behavior literature (see
Locke et al., 1981) that the intrinsic value of goal accomplishment tends to
increase as the level of goal difficulty increases. Indeed, this mechanism
is central to the notion of goal-setting and motivation. In the current
study, however, the negative association between participation and the
intrinsic valences relating to goal-accomplishment is at odds with this
explanation. A second explanation is that participation may provide an
opportunity to negotiate easier goals; that is, budget slack may be
introduced by participation (Schiff and Lewin, 1970; Onsi, 1973). This
would be consistent with the observed negative association of participation

-15-



with the IV 's, since achieving an easier goal would be likely to lead to
less intrinsic satisfaction. Moreover, since participation appears to be
connected with the use of the budget to evaluate performance as a basis for
bestowing organizational rewards, it would be perfectly rational for
managers to perceive it to be in their self-interest to negotiate as low a
budget as possible (Lowe and Shaw; 1968).

The preceding interpretation of the research findings raises important
questions about the benefits of participation in budget-setting.
Nonetheless, the study does indicate a significant positive relationship
between participation and the overall measure of performance. To explore
this further, each of the eight sub-dimensions of performance was correlated
with participation, and the results are shown in Table 3.



INSERT TABLE 5 HERE



All eight correlations are positive, and significant (p < 0.05). An
examination of the pattern among the coefficients suggests that the
dimensions of managerial performance which are most strongly associated with
participation are precisely those which might be expected to be strengthened
by judicious use of a budget as a managerial tool, in particular planning,
investigating and evaluating.
Limitations and Conclusions

The aim of the study was to assess whether, compared with a
"direct-effects" model, an "indirect-effects" model linking participation
and performance has the potential to add to our understanding of the
consequences of participation. In the interests of parsimony, a single variable, motivation, was included as intervening between participation and
performance. The results of the study show that the indirect path through
motivation contributes relatively little to an explanation of the observed
association between participation and performance. This evidence, however,
is insufficient grounds for abandoning the "indirect-effects" model. Other
intervening variables could enter the model. For example, ability and role
clarity have been suggested as co-determinants, with motivation, of
performance (Porter and Lawler, 1968; Lawler, 1971). Further research is
necessary to resolve this matter.

The form of the expectancy model of motivation adopted in the study also
requires further research and possible refinement. For example, Staw (1977)
offers a rationale for recognizing the possibility of extrinsic valences
being associated with goal-directed behavior, rather than simply with
goal-accomplishment. Moreover, multiple extrinsic valences enter into the
equation additively, whereas both the intrinsic valences enter the equation
as single mean values. This has implications for the relative weightings
accorded extrinsic and intrinsic valences respectively in the calculation of
motivation.

Then there is the question of the appropriateness of the measure of
performance in a research study such as this one. The criterion variable of
ultimate concern is an organization's creation of profit potential and the
realization of this through efficient operations. However, budgeting is
primarily concerned with the regulation of managerial work within an
organization. In this limited context, the appropriate criterion variable
of direct interest is managerial performance, even if the connection between
managerial performance and organizational effectiveness remains a broader
concern. This still leaves the issue of the reliability of self-ratings of
performance, compared with superior, peer or subordinate ratings. While

-17-



self-ratings have been shown to exhibit leniency error, provided the error
is not systematic among the respondents in a manner which is collinear with
any of the independent variables, the research findings will be unaffected.
Furthermore, Kavanagh et al. (1971) have suggested that self-ratings provide
greater discrimination among dimensions of performance than do other sources
of rating, and may therefore be more reliable in analyzing the components of
performance which contribute to the overall assessment. Having said this,
however, exhortations (e.g. Steers, 1977) to devote more research effort to
the development of better techniques for measuring performance are clearly
valid.

Finally, there is the issue of causality and the direction in which
effects among variables in the model proceed. The analysis done in the
study does not permit any inference about the causalities; these can only be
constructed from supporting theory. In this study, it is implied that
perceived participation in budget-setting may cause higher levels of
motivation, which in turn may cause higher levels of performance. But, in a
dynamic, inter-temporal context a rationale could be constructed to argue
for a reverse chain of causality - i.e. high performance leading to high
motivation leading to a perception (and indeed perhaps a reality) of high
participation in budget-setting. For example, it is entirely possible that
participation might be viewed as a luxury affordable only to organizational
units already performing satisfactorily.

i^ven recognizing the limitations of the study, the findings are
potentially of significance in the design of control systems. Participation
is a costly control strategy, since it consumes managerial resources. The
findings of the study indicate that the control system cost may be
compensated by improved managerial performance. But, on the other hand, the
findings also indicate some latent costs in the participation process,

-18-



arising in two ways. First, some potential performance may be being
sacrificed through the creation of budgetary slack. And secondly, costly
organizational rewards, contingent on the achievement of budgets, may be
supplanting intrinsic rewards. These latter rewards could be viewed as
being costless to the organization; stated even more strongly, their
suppression could induce hidden costs through, for example, diminished
creativity within the organization.

It is precisely because of these hidden consequences that the
"indirect-effects" model is potentially of considerable practical, as well
as theoretical, interest. A greater understanding of the mechanisms through
which participation affects performance should provide management with a
basis for designing the participation process in such a way as to capture
all the benefits, and to drive out the latent costs which the results of
this study have indicated.



-19-



TABLE 1
Zero-Order Correlations Between Variables

Participation(Xi)/Performance(X3) , r = 0.369, pParticipation(X]^)/Motivation(X2) , r = 0.139, n.s.
Motivation(X2)/Perforroance(X3) , r = 0.248, p
TABLE 2
Calculation of Path Coefficients P3-]^ and P32



Standard
Coefficient Value Error t



Intercept


0.000


0.088


0.00


n.s.


P31


0.341


0.089


3.81


<0.01


P32


0.201


0.089


2.25


<0.05



r2 = 0.176, F2^i05 = 11.20, p <0.01







TABLE


3






De^


com


iposition of Total


Effects in


Mod


el


Linkage




Direct (=p)


Indirect




Total (=r)


X1/X2




0.139







0.139


X1/X3




0.341


0.028




0.369


X2/X3




0.201


0.047




0.248



-20-



TABLE 4
Correlations between Participation and
the Elements of the Expectancy Model



Outcome*


EV.

1


^2i


^2i^^


IV
a


'\


1


.143


.232


.232


.025


.041


2


.075


.196


.159


-.033


-.072


3


.060


-.052


.037


-.042


.086


4


-.141


-.049


-.106


-.136


-.112


5


-.201


-.097


-.136


-.016


-.058


6


-.010


.104


.001


-.133


-.044


7


.049


-.201


.057


.011


-.098


8


-.024


.070


.061


-.042


-.155


9


.128


.192


.206


N/A


N/A



* The numbered outcomes are listed in Appendix A.

N/A Not Applicable

.191 > r > .160, p < 0.10

.248 > r > .191, p < 0.05

r > .248, p < 0.01



-21-



TABLE 5
Correlations between Participation and
the Eight Sub-Dimensions of Performance



Planning


0.297


Investigating


0.219


Coordinating


0.209


Evaluating


0.30A



Supervising


0.201


Staffing


0.284


Negotiating


0.217


Representing


0.174



-22-



Appendix A



List of Outcomes



Eight intrinsic and nine extrinsic outcomes were used in this study.



Extrinsic Intrinsic

1. Pay Raise 1. Personal growth and development

2. High Pay 2. Setting higher standards for yourself

3. Respect from boss 3. Giving help to others

4. Respect from other employees 4, Time at work passing fast

5. Receiving more compliments 5. Feelings of security '

6. Greater chances for independent 6. Setting higher standards for others
thought and action

7. Fewer chances to make friends 7. Feelings of accomplishment

8. Special reward or recognition 8. Being tired

9. Promotion



-23-



Appendix B

The solution to equation (3) can be derived through the use of
instrumental variables. As suggested earlier, X, and X„ serve as
suitable instruments since they are assumed uncorrelated with R .

Multiplying both sides of (3) by X, and then by X„ gives:

hh = P3l4 ^ P32V2 ^ ^3v\K ^'^

'"' hh - ^31^1^2-^ P32^2 ^ P3v^2\ ^^^^

Taking the expected value of each of (i) and (ii) gives

r^3 = P31 + P32ri2 ^^^^^

^^23 = P31^12 + P32 ^^^^

(iii) and (iv) follow from (i) and (ii) since, for standardized

variables,

(a) E(X.X.) = r. .

^'^^ (b) E(X^) = 1.

1

The terms involving R disappear since

E^^i^v) = ^X.R = 0-
1 V

(iii) and (iv) represent a system of two equations in two unknowns
(poi and Pon)« Solving (iii) and (iv) simultaneously gives

_ ^^13 "^ ^^12^23 (v)

P3I \ 2

1- r^2



P



^ ^23 "^ ^12^13 (vi)

32 , 2
1 - r^2



-24-



Substituting the values from Table 1 for the r's in (v) and (vi) gives
p, = 0.341, and ^^^ " 0*201, values identical to those shown in Table 2.



■25-



Footnotes

1. An internally controlled individual attributes the outcomes of his o\^m
actions to himself, while an externally controlled individual tends to
attribute these outcomes to chance, luck, or fate. See Rotter [1966]
for details of this variable, together with the instrument used to
measure it.

2. Of course, we do not intend to imply, by its choice as a single
intervening variable, that motivation is the only candidate for
inclusion.

3. These raw scores were reversed and rescaled by subtracting five from all
scores. As a result of this procedure, "neutral" responses score zero,
while responses in the "desirable" direction score positively (one to
four) and responses in the "undesirable" direction score negatively
(minus one to minus four).

4. The dimensions were planning, investigating, coordinating, evaluating,
supervising, staffing, negotiating and representing.

5. This procedure is also used to test the suitability of more parsimonious
models which exclude one or more linkages. In general, the assessment
of suitability is based on whether the original matrix of
intercorrelations among the variables in the model can be reproduced by
a more parsimonious model. For elaboration, see Land (1969).

6. As previously mentioned, it was not necessary to solve equation (2)
since P2i is equivalent to r]^2> the zero-order correlation between
participation and motivation.

7. The equivalence of the coefficients derived here with those resulting
from the instrumental variable procedure is demonstrated in Appendix B.



-26-



References



Argyris, C. , The Impact of Budgets on People , Ithaca, NY: School of Business
and Public Administration, Cornell University, 1952.

Becker, S. W. and D. Green, "Budgeting and Employee Behavior," Journal of
Business (October 1962), pp. 392-402.

, "Budgeting and Employee Behavior: A Rejoinder to



a 'Reply'," Journal of Business (April 1964), pp. 203-205.

Brownell, P., "Participation in Budgeting, Locus of Control, and

Organizational Effectiveness," The Accounting Review (October 1981),
pp. 844-860.

, "Participation in the Budgeting Process: When it Works and



When it Doesn't," Journal of Accounting Literature , (Vol. 1, 1982a),
pp. 124-153.

, "The Role of Accounting Data in Performance Evaluation,



Budgetary Participation and Organizational Effectiveness,"
Journal of Accounting Research (Spring 1982b), pp. 12-27.

Cherrington, D. J. and J. 0. Cherrington, "Appropriate Reinforcement
Contingencies in the Budgeting Process," Empirical Research in
Accounting: Selected Studies , Supplement to Journal of Accounting
Research (1973), pp. 225-253.

Collins, F., "The Interaction of Budget Characteristics and Personality
Variables with Budgetary Response Attitudes," The Accounting Review
(April 1978), pp. 324-335.

Connolly, T., "Some Conceptual and Methodological Issues in Expectancy Models
of Work Performance Motivation," Academy of Management Review
(No. 1, 1976), pp. 37-47.

Ferris, K. R. , "A Test of the Expectancy Theory of Motivation in an

Accounting Environment," The Accounting Review (July 1977), pp. 605-615.

Galbraith, J. and L. L. Cummings, "An Empirical Investigation of the

Motivational Determinants of Task Performance: Interactive Effects
between Instrumentality-Valence and Motivation-Ability,"
Organizational Behavior and Human Performance , (No. 2, 1967),
pp. 237-257.

Hofstede, G. H., The Game of Budget Control , Assen: Van Gorcum, 1967.

Hopwood, A. G. , Accounting and Human Behavior , Englewood Cliffs, N.J.:
Prentice-Hall, 1976.

House, R. J., "A Path-Goal Theory of Leader Effectiveness," Administrative
Science Quarterly (September 1971), pp. 321-338.



-27-



Kavanagh, M. J., A. C. MacKinney and L. Wolins, "Issues in Managerial

Performance: Multitrait-Multimethod Analyses of Ratings," Psycholgica l
Bulletin (January 1971), pp. 34-49. ""

Kenis, I., "Effects of Budgetary Control Characteristics on Managerial
Activities and Performance," The Accounting Review (October 1979),
pp. 707-721.

Kruglanski, A. W., "Issues in Cognitive Social Psychology" in H. R. Lepper
and D. Greene (eds.) The Hidden Costs of Reward; New Perspectives on
the Psychology of Human Motivation . New York: Wiley and Sons, 1978,
pp. 19-29.

Land, K. C, "Principles of Path Analysis," in E. Borgatta (ed.).

Sociological Methodology , San Francisco: Jossey-Bass, 1969, pp. 3-2 7.

Lawler, E. E., Motivation in Work Organizations , Belmont, California:
Brooks/Cole, 1973.

Lawler, E. E. and J. L. Suttle, "Expectancy Theory and Job Behavior,"

Organizational Behavior and Human Performance (June 1973), pp. 482-503.

Locke, E. A. and D. M. Schweiger, "Participation in Decision-Making: One
More Look," in B. M, Staw (ed.). Research in Organizational Behavior
(Vol. 1), Greenwich, Ct.:, JAI Press, 1979, pp.

, K, N. Shaw, L. M. Saari and G. P. Latham, "Goal-Setting and



Task Performance: 1969-1980," Psychological Bulletin (No. 1, 1981),
pp. 125-152.

Lowe, A, E, and R. W, Shaw, "An Analysis of Managerial Biasing: Evidence
from a Company's Budgeting Process," Journal of Management Studies
(October 1968), pp. 304-315.

Mahoney, T. A., T. H. Jerdee and S. J. Carroll, Development of Managerial
Performance: A Research Approach , Cincinatti: Southwestern Publishing
Company, 1963.

, "The Jobs of Management,"



Industrial Relations (February 1965), pp. 97-110.

Milani, K. W. , "The Relationship of Participation in Budget-Setting to
Industrial Supervisor Performance and Attitudes: A Field Study,"
The Accounting Review (April 1975), pp. 274-284.

Mitchell, T. R. , "Expectancy Models of Job Satisfaction, Occupational

Preference and Effort: A Theoretical, Methodological, and Empirical
Appraisal," Psychological Bulletin (81, 1974), pp. 1053-1077.

., "Organizational Behavior," Annual Review of Psychology



(1979), pp. 243-281.

Onsi, M. , "Behavioral Variables Affecting Budgetary Slack," The Accounting
Review (July 1973), pp. 535-548.



-28-



Otley, D. T. , "The Contingency Theory of Management Accounting: Achievement
and Prognosis," Accounting, Organizations and Society (1980),

pp. 413-428.

Pindyck, R. S. and D. L. Rubinfeld, Econometric Models and Economic
Forecasts , New York: McGraw-Hill, 1976.

Porter, L. W. and E. E. Lawler, Managerial Attitudes and Performance ,
Homewood, Illinois: Irwin, 1968.

Raia, A. P., "Goal Setting and Self-Control: An Empirical Study,"
Journal of Management Studies (No. 1, 1965), pp. 34-53,

Rockness, H. 0., "Expectancy Theory in a Budgetary Setting: An Experimental
Examination," The Accounting Review (October 1977), pp. 893-903.

Ronen, J. and J. L. Livingstone, "An Expectancy Theory Approach to the

Motivational Impact of Budgets," The Accounting Review (October 1975),
pp. 671-685.

Rotter, J. B., "Generalized Expectancies for Internal versus External Control
of Reinforcement," Psychological Monographs: General and Applied
(1966, Whole No. 609), pp. 1-28.

Schiff , M. and A. Y. Lewin, "The Impact of People on Budgets," The Accounting
Review (April 1970), pp. 259-268.

Searfoss, D. and R. Monczka, "Perceived Participation in the Budget Process
and Motivation to Achieve the Budget," Academy of Management Journal
(December 1973), pp. 541-554.

Staw, B. M. , "Motivation in Organizations: Toward Synthesis and

Redirection," in B. M. Staw and G. R. Salancik (eds.). New Directions
in Organizational Behavior , Chicago: St. Clair Press, 1977.

, "Intrinsic and Extrinsic Motivation," in Leavitt, H. J., L. R.



Pondy and D. M. Boje, Readings in Manger ial Psychology , University of
Chicago Press (1980), pp. 23-61.

Steers, R. M. , Organizational Effectiveness: A Behavioral View , Santa
Monica, Calif.: Goodyear Publishing, 1977.

Stokes, D. E. , "Compound Paths: An Expository Note," American Journal of
Political Science (February 1974), pp. 191-214.

Stedry, A. C. , "Budgeting and Employee Behavior: A Reply,' Journal of
Business (April 1964), pp. 195-202.

Wahba, M. A. and K. J. House, "Expectancy Theory in Work and Motivation -
Some Logical and Methodological Issues," Human Relations (27, 1974),
pp. 121-147.

Waterhouse, J. H. and P. Tiesssn, "A Contingency Framework for Management
Accounting Systems Research," Accounting, Organizations and Society
(1978), pp. 65-76.

-29-



kSS3 019



v^



MIT LIBRARIES



3 TDflD DD4 S7h 143



"SM^Aobe: i5 oH dA^ (^^^^^sf^
Brownell (1981) found that the individual An interpretation of this is that participation serves to legitimize the budget as a basis for performance evaluation and contingent administration of organizational rewards
Untuk menggambarkan, Brownell ( 1981) yang ditemukan [bahwa/yang] yang individu [Adalah] suatu penafsiran ini adalah keikutsertaan itu melayani untuk mengesahkan anggaran [itu] sebagai basis untuk evaluasi capaian dan administrasi ketidak-tentuan [dari;ttg] penghargaan organisatoris. Kesimpulan seperti itu adalah konsisten dengan penemuan sebelumnya